Sudah
miliaran kali lebih aku melihat senyumnya, temani dia menjalani hari dan
melihatnya tumbuh dewasa. Kami bukan kembar siam, tapi kami ditakdirkan untuk
menjadi satu kesatuan. Bahagianya bisa menjadi bahagiaku dan masalahnya mau tidak
mau harus jadi masalahku. Se simple
itu terlihat. Tapi tidak sebenarnya. Hidupnya tidak semudah orang mengedipkan
mata. Garis kehidupannya rumit. Bukan seperti sebuah rubik apalagi sudoku level
mudah. Dia punya banyak masalah berbelit yang bahkan orang lain tidak akan
mengira dia punya masalah. Ya, karena dia tidak pernah menangis barang
meneteskan setetes saja air matanya di depan orang banyak. Dia selalu
tersenyum, tertawa seolah-olah tidak ada beban di hatinya.
Yang aku
heran, orang-orang menghampirinya untuk meminta saran atau sekedar mengeluarkan
keluh kesah dan dengan mudahnya mereka menangis. Mereka ceritakan hampir semua
masalah mereka. Keuangan mereka yang tidak pernah naik. Kali pertama orang tua
mereka bertengkar. Mantan kekasih yang terlebih dahulu move on. Dan sakit hati dalam sebuah hubungan friendzone. Tahukah mereka, kenapa dengan entengnya dia memberikan
sedikit saran untuk masalah mereka? Ya, karena dia pernah mengalaminya, bahkan
lebih berat dari apa yang mereka alami. Jika dengan satu saja masalah itu
mereka menangis, lalu bagaimana dengan dia? Dia kecil dengan keluarga yang
cukup berada namun seketika jatuh terpuruk menyisakan hanya sedikit hartanya.
Dia kecil yang nyaris menjadi korban perceraian. Dia yang pernah menaruh
seluruh hati pada laki-laki yang mendua. Dia yang bertahun-tahun rela hanya
menjadi seorang pemerhati dari kejauhan. Dan dia yang tumbuh dewasa dengan kelainan yang jika dioperasi sekalipun tidak akan kembali normal seperti orang
kebanyakan. Ya, dia punya lebih dari segala masalah itu. Tapi sekali lagi, dia tidak
pernah menangis di depan teman-temannya. Dia selalu mencoba tersenyum mengamati
lika liku takdir hidupnya.
“Dia itu bodoh! Dia kelainan! Dia
aneh! Dia munafik!”. Kata seseorang di depanku.
“Kamu siapa?! Tau apa kamu tentang dia hah?!” .
“Dia itu bodoh! Disakitin orang
diem aja, dimanfaatin orang pasrah aja. Dia kelainan! Kalo suka ya bilang suka
kalo enggak suka ya bilang enggak, jangan malah kebalik. Dia aneh! bilangnya si
dia baik-baik aja, nyatanya hatinya terluka tuh. Dia munafik! Di depan orang
sok senyum sok tegar, giliran di rumah sendirian nangisnya sesenggukan”.
Emosiku sedikit terpancing. Aku ambil salah satu foto kecilnya dari atas meja di samping tempat tidurku dan kembali menatap mata seseorang sok tahu itu. “Lihat foto ini, lihat senyumnya! Dia bukan orang bodoh. Dia nggak kelainan apalagi aneh. Dia hanya seorang Eccedentesiast yang mencoba menghadapi segala masalahnya sendiri. Jika menurutmu dia munafik, kamu salah! Dia hanya mencoba tetap tersenyum walaupun jelas-jelas hatinya sakit. Berusaha tertawa di balik banyaknya beban yang nggak mungkin dia ceritakan. Dan selalu mencoba terlihat tegar meskipun hatinya sudah lama putus asa. Dia hanya berpikiran menyimpan segala keluh kesahnya sendirian. Menyimpan di balik cerianya. Karena dia tau, dia nggak mungkin menceritakan masalahnya pada orang yang mengandalkan dia sebagai tempat menampung masalah-masalah mereka. Aku pikir itu jauh lebih baik daripada aku harus melihatnya cengeng dan terus menerus bersedih dengan masalahnya. Dan aku yakin, kamu tidak akan pernah bisa mengerti dia!”. Aku lelah. Aku memilih berbalik badan dan pergi. Percuma aku jelaskan panjang lebar, karena sosok seseorang pada balik cermin riasku itu tidak akan pernah mengerti. Aku rebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Aku tatap mata bocah perempuan kecil yang dengan senyum menaiki sepeda roda tiganya pada bingkai foto di tanganku. “Mereka nggak bakal bisa ngerti kamu. Bahkan sampai sekarang aku juga sama sekali belum bisa mahamin kamu. Tapi jika kamu nyaman menjadi seorang Eccedentesiast, bertahanlah”. Aku kembalikan foto itu di atas meja, berjejer dengan foto-fotoku yang lain. Ya, tidak ada orang yang bisa mengerti perasaan hati seorang Eccedentesiast. Bahkan aku, seorang Eccedentesiast itu sendiri.
- K -

Tidak ada komentar:
Posting Komentar