Sabtu, 27 September 2014

Eccedentesiast





Sudah miliaran kali lebih aku melihat senyumnya, temani dia menjalani hari dan melihatnya tumbuh dewasa. Kami bukan kembar siam, tapi kami ditakdirkan untuk menjadi satu kesatuan. Bahagianya bisa menjadi bahagiaku dan masalahnya mau tidak mau harus jadi masalahku. Se simple itu terlihat. Tapi tidak sebenarnya. Hidupnya tidak semudah orang mengedipkan mata. Garis kehidupannya rumit. Bukan seperti sebuah rubik apalagi sudoku level mudah. Dia punya banyak masalah berbelit yang bahkan orang lain tidak akan mengira dia punya masalah. Ya, karena dia tidak pernah menangis barang meneteskan setetes saja air matanya di depan orang banyak. Dia selalu tersenyum, tertawa seolah-olah tidak ada beban di hatinya. 

Yang aku heran, orang-orang menghampirinya untuk meminta saran atau sekedar mengeluarkan keluh kesah dan dengan mudahnya mereka menangis. Mereka ceritakan hampir semua masalah mereka. Keuangan mereka yang tidak pernah naik. Kali pertama orang tua mereka bertengkar. Mantan kekasih yang terlebih dahulu move on. Dan sakit hati dalam sebuah hubungan friendzone. Tahukah mereka, kenapa dengan entengnya dia memberikan sedikit saran untuk masalah mereka? Ya, karena dia pernah mengalaminya, bahkan lebih berat dari apa yang mereka alami. Jika dengan satu saja masalah itu mereka menangis, lalu bagaimana dengan dia? Dia kecil dengan keluarga yang cukup berada namun seketika jatuh terpuruk menyisakan hanya sedikit hartanya. Dia kecil yang nyaris menjadi korban perceraian. Dia yang pernah menaruh seluruh hati pada laki-laki yang mendua. Dia yang bertahun-tahun rela hanya menjadi seorang pemerhati dari kejauhan. Dan dia yang tumbuh dewasa dengan kelainan yang jika dioperasi sekalipun tidak akan kembali normal seperti orang kebanyakan. Ya, dia punya lebih dari segala masalah itu. Tapi sekali lagi, dia tidak pernah menangis di depan teman-temannya. Dia selalu mencoba tersenyum mengamati lika liku takdir hidupnya.

“Dia itu bodoh! Dia kelainan! Dia aneh! Dia munafik!”. Kata seseorang di depanku.

“Kamu siapa?! Tau apa kamu tentang dia hah?!” .

“Dia itu bodoh! Disakitin orang diem aja, dimanfaatin orang pasrah aja. Dia kelainan! Kalo suka ya bilang suka kalo enggak suka ya bilang enggak, jangan malah kebalik. Dia aneh! bilangnya si dia baik-baik aja, nyatanya hatinya terluka tuh. Dia munafik! Di depan orang sok senyum sok tegar, giliran di rumah sendirian nangisnya sesenggukan”.

Emosiku sedikit terpancing. Aku ambil salah satu foto kecilnya dari atas meja di samping tempat tidurku dan kembali menatap mata seseorang sok tahu itu. “Lihat foto ini, lihat senyumnya! Dia bukan orang bodoh. Dia nggak kelainan apalagi aneh. Dia hanya seorang Eccedentesiast yang mencoba menghadapi segala masalahnya sendiri. Jika menurutmu dia munafik, kamu salah! Dia hanya mencoba tetap tersenyum walaupun jelas-jelas hatinya sakit. Berusaha tertawa di balik banyaknya beban yang nggak mungkin dia ceritakan. Dan selalu mencoba terlihat tegar meskipun hatinya sudah lama putus asa. Dia hanya berpikiran menyimpan segala keluh kesahnya sendirian. Menyimpan di balik cerianya. Karena dia tau, dia nggak mungkin menceritakan masalahnya pada orang yang mengandalkan dia sebagai tempat menampung masalah-masalah mereka. Aku pikir itu jauh lebih baik daripada aku harus melihatnya cengeng dan terus menerus bersedih dengan masalahnya. Dan aku yakin, kamu tidak akan pernah bisa mengerti dia!”. Aku lelah. Aku memilih berbalik badan dan pergi. Percuma aku jelaskan panjang lebar, karena sosok seseorang pada balik cermin riasku itu tidak akan pernah mengerti. Aku rebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Aku tatap mata bocah perempuan kecil yang dengan senyum menaiki sepeda roda tiganya pada bingkai foto di tanganku. “Mereka nggak bakal bisa ngerti kamu. Bahkan sampai sekarang aku juga sama sekali belum bisa mahamin kamu. Tapi jika kamu nyaman menjadi seorang Eccedentesiast, bertahanlah”. Aku kembalikan foto itu di atas meja, berjejer dengan foto-fotoku yang lain. Ya, tidak ada orang yang bisa mengerti perasaan hati seorang Eccedentesiast. Bahkan aku, seorang Eccedentesiast itu sendiri.




- K -


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar